Minggu, 20 Oktober 2019

KRITIK ARSITEKTUR DESKRIPTIF: Arsitek Budi Pradono

  
Dari kiri: Joy, Pak Budi, Dela. (sumber: dokumen pribadi)

            Budi Pradono lahir di Salatiga pada 15 Maret 1970. Ayahnya dosen dan ibunya guru tari balet. Hampir setiap hari, beliau diperdengarkan lagu-lagu klasik karya Ludwig van Beethoven. Beliau tinggal di desa, hiburan masa kecilnya sebatas sungai, sawah, dan tanah liat. Begitu sampai di rumah setelah main, beliau kembali dipendengarkan lantunan musik-musik klasik. Lagu-lagu klasik tersebut kini jadi obatnya ketika sedang dalam keadaan buntu untuk berpikir. Beranjak sekolah dasar, ibu dari Budi Pradono mendatangkan guru tari tradisional untuknya dan saudara-saudaranya. Budi diajarkan tarian tradisional Jawa hingga Bali. Ibunya tidak meminta anak-anaknya untuk menjadi penari, melainkan supaya mereka memiliki kecintaan terhadap tradisi lokal.
           Saat menginjak bangku sekolah menengah pertama, Budi Pradono hampir berkesempatan tinggal di Amerika Serikat setelah ayahya mendapatkan beasiswa S3. Sayangnya, sang ayah urung berangkat ke Negeri Paman Sam karena berbagai hal. Budi Pradono yang memiliki bakat menggambar, diminta oleh ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tapi, beliau gagal dua kali tes masuk di kampus tersebut sampai akhirnya hanya berpasrah. Beliau pun didaftarkan ke Universitas Kristen Duta Wacana jurusan arsitektur. Saat itu beliau sendiri belum tau bahkan tidak terlalu senang dengan dunia arsitektur. Satu-satunya hal yang membuatnya senang di jurusan arsitektur adalah tugas menggambar.
           Pada tahun 1995, beliau menyelesaikan pendidikan di jurusan arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta dan gelar masternya pada tahun 2002 di Berlage Institute Rotterdam Belanda. Setelah dari gelar sarjana nya, pada tahun 1995-1996 ia bekerja di Beverly Garlic Architect, Sidney, Australia dan pada tahun 1996-1999 ia bekerja di PT Internasional Design Consultants, Jakarta - San Fransisco. Sehingga pada tahun 1999, Budi Pradono mendirikan sebuah konsultan teknik yang diberi nama Budi Pradono Architects (BPA). BPA merupakan studio arsitektur yang berfokus pada gaya hidup kontemporer, keramahtamahan, dan urban desain.
           Budi Pradono memilih membuat Budi Pradono Arsitek di Indonesia, bukan di luar negeri padahal beliau sendiri selalu berada di luar negeri dan jarang di Indonesia karena secara keseluruhan, luar negeri sudah mapan dari segi arsitektur, perencanan, perancangan, maupundalam segala proses-proses dari itu semua, sehingga baginya tidak ada tantangan dan tidak bisa menemukan masalah sampai terlalu mudah untuk berarsitektur di sana. Lain hal dengan di Indonesia, beliau bisa menemukan banyak masalah dan juga banyak tantangan tentang arsitektur Indonesia, jadi tetap pada prinsip arsitek yaitu menemukan solusi atas segala masalah yang ada yang kemudian dijawab melalui hasil desain-desainnya.
            Konsep desain dari Budi Pradono yaitu unik namun tetap fungsional. Salah satu konsep rancangannya yang paling terkenal adalah Green Architecture (Arsitektur Hijau), dimana dalam konsep ini sang arsitek Budi Pradono memperhatikan keseimbangan, ramah lingkungan, dan bangunan dengan performa suatu bangunan.

Beberapa contoh karya desain Budi Pradono:

sumber: sugar and cream
Dancing Mountain House
Dancing Mountain House menggunakan metode merancang sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat dan konstruksi berbahan dasar bambu dengan “meminjam”, bentukbentuk puncak gunung yang mengelilingi kota dan pedesaan Salatiga, yakni Merapi, Telomoyo, Tidar, dan Andong untuk atap rumah. Orang-orang Indonesia memahami hidup yang baik adalah hidup dekat dengan alam, seperti Dancing Mountain House yang dibangun BPA bersama masyarakat di antara gunung, wilayah pedesaan, dan komunitas masyarakatnya.

Sumber: furnizing.com
Rumah Miring
Rumah ini dikonsepkan sebagai simbol "anti kemapanan". Bingkai baja putih dari baja bekas sebagai struktur utama rumah yang bersandar miring ke arah jalan ini, lebih tinggi di atas garis atap rumah tetangga, dan sudut miringnya dimaksudkan sebagai kritik terhadap lingkungannya, karena rumah miring ini lebih menonjol dibandingkan rumah lainnya.


           Arsitek Indonesia Budi Pradono mendapatkan penghargaan dari Arcacia di acara Arcasia Award for Architecture (AAA) 2016. Dalam gelaran AAA 2016, Budi Pradono terpilih menjadi pemenang pada proyek P House / Dancing Mountain House kategori Residensial di Hongkong. Penghargaan-penghargaan tersebut antara lain, cityscape Architecture Aard, Dubai 2004: AR Awards for Emerging Architecture, London, 2005; World Architecture Festival Award, Barcelon 2008: Silver Medal & Honorary Diploma Interach, Triennial Architecture, Sofia Bulgaria 2009.
             Berdasarkan hasil wawancara, menurut Budi Pradono, dalam salah satu karyanya yaitu ‘rumah miring’ yang berada di kawasan perumahan Pondok Indah, Jakarta, beliau mendapatkan konsep gagasan rumah miring ini dengan konsep green building dan bangunan sebagai ‘anti kemapanan’. Arti dari ‘anti kemapanan’ sendiri adalah proses berfikir keras dimana kesederhanaan dapat menghasilkan produk yang mewah dan lebih dari biasa saja (berbeda) dengan yang lainnya.” Banyak orang biasa menafsirkan kemapanan adalah kemewahan dengan hal-hal yang glamour dan terkesan meninggi, seperti pada rumah-rumah mewah di kawasan perumahan Pondok Indah pada umumnya. Anti kemapanan dalam rumah miring ini adalah bukan berarti tidak mapan, maksudnya adalah mapan dengan kesederhanaan dan mapan dengan tidak mengumbar kemewahan.
              Green building pada bangunan rumah miring ini juga bukan hanya sekedar dalam artian sempit penghijauan yang berasal dari alam, namun juga cara-cara bagaimana agar bisa menggunakan kembali material bekas -- seperti kolom baja pada rumah miring ini adalah baja bekas yang kemudian digunakan kembali -- sehingga tetap pada tujuan green building yaitu melestarikan alam. Juga lantai pada bangunan ini yang tidak ditutup sehingga udara langsung masuk ke ruangan. Kacanya yang menggunakan sistem double glass dengan tujuan supaya ada ruang hampa di antara kedua kaca tersebut yang bisa menyesuaikan dengan musim di Indonesia.





Kritik oleh: Desi Rismayanti, Dela Meisiliandetara, Joy Gloria.
Telah diasistensi oleh Melati Rahmi Azizah, S.T., M.T.
 

Terima kasih kepada Bapak Budi Pradono yang telah meluangkan waktu untuk proses tulisan ini😊. 

 

 

Tulisan ini masih jauh dari kata baik. kritik dan masukannya dipersilahkan..

    









Minggu, 29 September 2019

KRITIK ARSITEKTUR NORMATIF Rumah Miring Arsitek Budi Pradono






Sumber: http://www.deezen.com/
Sumber: furnizing.com

Rumah. Apa yang bisa didefinisikan kalau ini adalah rumah, rumah para manusia untuk melepaskan penat dan bersantai untuk sekedar mencari sedikit hiburan. Lalu apa bisa bentukan rumah didekonstruksi jika fungsi rumah itu sendiri sudah tidak lagi digarap sebagai rumah dimana “istirahat” adalah tempatnya. Tapi, jika fungsi rumah sendiri adalah gabungan dari beberapa hakikat yang ingin dicapai oleh penghuni, apakah itu dapat diklaim dengan hanya sekedar mengusung nama ‘rumah’. Seperti pada rumah miring yang berlokasi di perumahan Pondok Indah, Jakarta dengan bentukan yang terkesan belum selesai ini bukan hanya sekedar sebagai hunian tetapi juga berfungsi sebagai galeri yang sangat terbuka.

Budi pradono dalam menciptakan rumah miring memiliki konsep untuk menyindir lingkungan perumahan Pondok Indah yang memliki kesan mewah dari masyarakat, sedangkan maksud dari rumah miring sendiri menurut Budi Pradono adalah simbol “anti kemapanan” dimana yang paham dan mengerti maksud dari konsep tersebut hanya “para Arsitek” sedangkan masyarakat dan lingkungan sekitar tidak tahu bahwa konsep yang sebenarnya adalah “anti kemapanan”.

Seolah-olah hanyalah desain dengan imaji komersial yang dilegalkan untuk menyambungkan dengan konsep-konsep desain. Konsep yang mengusung “lawan dari kemapanan” bahkan tidak tembus di mata masyarakat, karena jika ditilik lagi kembali ke masa silam pada tahun 100 M dimana bangsa Romawi menjadi bangsa pertama yang menggunakan kaca sebagai bahan mewah pada arsitektur, sehingga sampai saat ini kaca tetap menjadi sebuah material mewah yang kurang cocok jika dijadikan bahan material utama untuk sebuah konsep “anti kemapanan.”

Bengunan yang nyatanya adalah renovasi dari bangunan lama, namun tidak dapat diketahui bagaimana rupa bangunan lamanya, hanya saja sekarang dapat terlihat seperti bangunan yang ‘modern’, yang berdiri di antara bangunan-bangunan yang ‘modern’ pula. Apa halnya bangunan ini disebut modern jika arsitektur modern itu sendiri lahir pada tahun 1920-an, sementara bangunan ini rampung pada tahun 2015? Masih kah bisa disebut sebagai kebaharuan dalam desain? 

Berdasarkan ciri arsitektur modern yang memang sudah populer sejak terkenalnya “Falling water House” karya Frank Lloyn Wright, ciri yang mendefinisikan sebuah karya arsitektur dikatakan modern adalah garis-garis yang tegas dan simetris, di bangunan ini nampak jelas antara garis massa, garis dinding dan gubahan dalam bentuknya. Kejujuran dalam penggunaan material dalam bangunan pun turut mendukung bangunan ini dikatakan modern karena jenis material bahan bangunan yang kerap digunakan pada bangunan-bangunan bergaya arsitektur modern adalah besi, beton, kaca, dan juga kayu tanpa ditutupi atau dimanipulasi. Rancangan terbuka dengan banyak elemen kaca bangunan bergaya arsitektur modern umumnya memiliki denah lantai yang jauh lebih terbuka dengan minimnya keberadaan pembatas ruangan dan juga banyaknya penggunaan kaca sebagai bukaan sehingga rumah bergaya arsitektur modern umumnya terkesan sangat terbuka. Jelas jika bangunan rumah tinggal karya Budi Pradono adalah modern berdasarkan ciri arsitektur modern dan bukan dari kebaharuan desain berdasarkan sejarah arsitektur modern.

Satu hal yang tidak lepas dari kemodernan arsitektur yaitu prinsip “less is more” yang dipopulerkan oleh Ludwig Mies van der Rohe. Lalu apa kaitannya? Seperti halnya bangunan karya arsitek-arsitek modern yang selalu dibuat kontras dengan lingkungan sekitarnya, tidak adanya penggunaan ornamen atau elemen bangunan lainnya yang berlebihan, hanya dibuat monokrom, setiap elemen terbentuk berdasarkan fungsi sekaligus estetika secara bersamaan.

Menurut sang arsitek bahwa bentukan kotak dengan sentuhan miring pada desainnya adalah keskstreman, berbeda dengan desain yang banyak ukiran dengan bentukan yang ribet seperti kolom dekoratif dengan sentuhan mediterania dengan luasan yang megah serta gubahan massa dengan keteguhan yang mewah sekitar tetangga. Keekstreman yang tidak lepas dari geometri, namun ‘ekstrem’ dalam dunia arsitektur itu apa? Banyak bangunan yang disangka goemetri ekstrem, namun tidak hanya sebatas ciri keekstreman yang keluar dari ‘kenormalan’ goemetri itu sendiri. Bisa saja, saat kita melihat bentukan yang aneh dan tidak wajar, itu adalah ekstrem. Lalu, atau memang kita yang bebas menentukan ‘ekstrem’ tidaknya suatu bentukan massa itu adalah sesuai dengan apa yang kita rasakan?



Kritik oleh: Desi Rismayanti, Dela Meisiliandetara, Joy Gloria Grace Siburian.  

Telah diasistensi oleh: Dosen Ibu Melati Rahmi Azizah, S.T., M.T.

Senin, 11 Maret 2019

STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR 4. TUGAS 1 : SAYEMBARA DESAIN GELANGGANG PEMUDA DAN REMAJA KOTA BANDAR LAMPUNG


Pokonya paling bahagiaaa banget ngerjain ini tugas. Kenapa? karena desain terserah mau gimana, gak usah mikirin struktur, gak perlu mikirin itungan, yang penting desain lah udah. Laluuu dikarenakan saya sangat suka menggambar dengan tangan alias gambar manual, saya bisa coret-coret kertas gambar saya sesuka hati deh  hehe 😁









Minggu, 08 Juli 2018

TUGAS AKHIR STRUKTUR DAN KONSTRUKSI 1


 Cerita sedikit yaa😁

Pada suatu hari yang cerah, namun tiba-tiba mendung dan hujan sampai malam, kami mahasiswa arsitektur di kampus tiba-tiba dikejutkan dengan target tugas hari itu. Gimana bisa coba, niat untuk menyelesaikan tugas stupa dulu, baru lanjut ke struktur harus kandas. Waktu itu memang DEADLINE yang berdekatan dengan pengumpulan tugas stupa.

Kami tidak membawa kertas pada saat itu, karena di dalam perkiraaan kami, kelas akan gabut alias gak ngapa-ngapain kayak biasanya (biasalah anak-anak memang selalu suka mengerjakan tugas mepet deadline). Saya pun termasuk salah satu orang yang tidak membawanya saat itu. Tiba-tiba dosen datang dan langsung memberi petuah bahwa tugas besar ini bukan hanya dalam konteks strukutr tapi juga karena sangking banyak gambar yang harus dibuat, maka nilai tugas konstruksi juga di situ. Beliau lalu memberi tau apa saja yang harus diselesikan hari  itu, yaitu denah, denah pondasi, denah rencana atap, 4 tampak, 2 potongan. Pada saat itu kami dibuat shock lagi, bahwa asistensi untuk yang ini hanyak ada hari itu juga. Bagaimana bisa menyelesaikan semua itu hari itu juga. Parahnya lagi kami tidak diperbolehkan mengerjakannya di luar studio, contohnya mengerjakan di kosan lalu balik lagi ke studio untuk minta asistensi.

Karena saya tidak membawa kertas alias belum beli kertas pada hari itu alhasil saya bersama teman saya pergi ke kota dengan begitu banyak pesanan dari teman-teman yang lain. Setelah selesai transaksi membeli kertas ternyata hujan, takut kertasnya basah---kan punya orang lain juga, mahal juga harganya, daripada rugi kena basah mending neduh dulu. Selesainya hujan kami langsung ke kampus. Saya merasa sangat lelah sekali hari itu, udah pengen nangis beneran deh, udah gak konsen lagi sebenernya mau menggambar, tapi memang bener-bener harus dipaksa kan kapan lagi kalo bukan hari itu.

Sampai malam kami para mahasiswa arsitektur di sana, ini pertama kalinya kami yang merasa masih bayi ini seperti itu kerja sampai malam. Bisa dibayangkan bagaimana capeknya badan dari pagi dengan keadaan ruangan studio yang udah gak tau itu, segala bau udah nyampur, bau ruangan udah ga sejuk lagi, bahkan ada yang benar-benar menangis😁 Saya sendiri pun sudah gak sanggup lagi rasanya "kenapa ini belum selesai-selesai juga" (saya adalah salah satu orang yang menggambarnya lama). Pikiran udah campur aduk banget apalagi ngeliat temen-temen lainnya udah pada selesai. Akhirnya saya menyelesaikan itu sekitar pukul 21.30 WIB dengan keadaan cuaca yang masih gerimis, kami ke gedung lain untuk menemui para dosen yang alhamdulillah mereka masih ada di kampus.





 
 



 


Selasa, 19 Juni 2018

TUGAS AKHIR STUDIO 2: RUMAH TINGGAL 2 LANTAI




Di tugas akhir studio 2 ini kami sedikit shock, karena kali pertamanya studio menggambar pakai kertas A2.

Pada kesempatan tugas akhir  ini juga beda dari yang lainnya, kami harus bertemu langsung dengan si klien dan mewawancarainya secara eksklusif apa maunya klien. Bukan hanya itu saja, kami juga terjun langsung ke lokasi yang akan dijadikan lahan untuk dibangunnya rancangan kami. Dari mulai mengukur luas tanah, melihat arah kiblat dan mata angin, menentukan arah angin, melihat situasi sekitar, melihat dimana letak tiang listrik atau pun ada pertigaan/tikungan jalan, sampai bagaimana bentuk rumah tetangga, semua itu kami harus tau. Sampai data-datanya terkumpul, baru kami mulai start untuk membuat ini. 

Klien pada kesempatan ini bukan klien yang sungguhan seperti arsitek sungguhan ya, namun karena masih proses belajar, klien kami adalah para dosen di kampus yang ditunjuk oleh para dosen arsitektur.

Setelah selesai gambar dan maket pun kami harus pesentasi ke masing-masing dosen pembimbing dan kalau ada kesempatan kami pun presentasi ke dosen klien.

Deadline pengumpulannya pun beda, yang biasanya gambar dan maket dikumpul bersamaan, namun kali ini beda tanggalnya. Ditambah lagi dengan adanya detail arsitektur dari gambar rancangan yang telah kami buat.

Ini hasil pra rancangan saya walaupun jauh dari kata sempurna. Saya masih belajar hehe


salah satu bedanya dari tugas sebelumnya tuh ini, ada hubungan ruangnya gitu.







I like this😁








  
kok jadinya kayak kotak ya😁

maket yang ku buat dalam waktu semalam suntuk tanpa tidur😪
(mohon jangan ditiru ya😁)



 


Masuk jurusan arsitektur memang kudu sabar dan bermental baja ya, kalau tidak ya gak akan kuat.

SEMANGAT!



KRITIK ARSITEKTUR DESKRIPTIF: Arsitek Budi Pradono

   Dari kiri: Joy, Pak Budi, Dela. (sumber: dokumen pribadi)             Budi Pradono lahir di Salatiga pada 15 Maret 1970. Ayahnya d...